Popular Posts

Wednesday, August 31, 2011

Lebaran idul fitri di Indonesia: budaya materialistis?

Lebaran : segala sesuatu yang baru. baju baru. sepatu baru. rumah dicat baru. Perabotan rumah disulap serba baru. baju koko baru. baju muslimah baru. Semua harus baru. Meski untuk mendapatkannya segala daya upaya dan cara diperbolehkan. Bukan main! Ini omelan seorang teman kecil saya di Bogor. Ia, seorang yang tidak terlalu religius namun berasal dari keluarga yang santun dan taat dalam nilai-nilai Islam. Meski telah sering berkeliling dunia sebagai cabin crew perusahaan kapal pesiar mewah berbasis di Tampa, Florida, Amerika Serikat, cara pandangnya masih terasa kental dengan semangat "orang tradisional".Cara berpakain yang khas anak muda (meski sebenarnya ia sudah tidak terlalu muda lagi kok )yang cenderung ke-barat-baratan, plus dilengkapi dengan gaya bicara yang US-minded, rupanya tidak lantas otomatis menjadikan sobat saya ini kehilangan daya kritisnya melihat fenomena di kampungnya yang ia lihat sangat berbeda dengan saat ia (dan saya!) kecil dahulu, ya sekitar awal tahun 1980-an. Setiap pulang dari berlayar, ia selalu mengeluh betapa orang-orang kampungnya sudah tidak "asli". Sudah terbaratkan. Tidak saja dalam berpakaian dan cara bergaul (seperti dirinya, tentu saja!) tapi parahnya sudah tercuci-otak dengan cara pikir orang-orang Barat sana. Secara sinis ia menyebut orang-orang kampungnya sebagai " fisik kampung tapi budaya (baca: lifestyle) bule".

Saya dapat memahami cara pandang teman saya tersebut. Secara spesifik saya bisa melihat fenomena "fisik kampung tapi budaya bule" itu dalam bulan ramadhan dan hari raya idul fitri tahun ini, di kampung teman saya ini terutama. Tidak sedikt warga yang merentang dari usia muda sekali sampai orang tua, larut dalam cara-cara yang sangat berlawanan dengan semangat dan jiwa puasa ramadhan itu sendiri yang menekankan pada upaya maksimal untuk menahan diri dari segala macam upaya pemenuhan kebutuhan materi yang berlebihan. Untuk menyebut contoh yang sangat gampang dilihat sehari-hari sepanjang ramadhan adalah betapa budaya konsumtif sangat menggila di kalangan masyarakat. Pasar-pasar, baik yang tradisional maupun "modern" selalu luber dengan pengunjung. Nyaris tiada hari tanpa lalu lintas lumpuh karena kemacetan mengerikan di sepanjang jalur puncak. Ya, benar. Karena pasar-pasar demikian penuhnya, menggantikan masjid dan madrasah/pengajian yang seharusnya menjadi pusat keramaian di saat bulan suci Ramadhan. Ironis sekali. Pasar dan Mal telah merampas "makhota" masjid-masjid dan pusat-pusat kegiatan ibadah, justru di kala bulan ibadah ini, bulan Ramadhan!

Tak heran, teman saya,-mengingat profesinya sebagai pengelana global- yang sebenarnya "telah ter-bule" kan tersebut, namun sangat miris melihat perubahan tradisi yang sangat esktrim tersebut. Dia serta merta menyalahkan media massa sebagai penyebab segala "kerusakan akhlaq" yang telah mengubah wajah masyarakat kampungnya, yang awalnya sangat religius, saat ini telah berubah menjadi amat hedonistis. Penyembah materi namun berkedok agama. Sebuah ungkapan emosionil yang mungkin berlebihan. Namun mari kita lihat sisi baik dari ungkapan murka sang teman saya itu. saya sependapat bahwa fenomena yang dia sebut itu benar memang ada, terjadi dan bahkan telah menjelma menjadi sub-budaya sebagian umat muslim di sini, suka tidak suka fakta tersebut adalah merupakan sebuah fakta keras (hard-evidence), meski tidak se-esktrim seperti sumpah-serapah sobat saya itu. MAsalahnya adalah kemudian, apakah fenomena ini secara sosiologis merupakan fenomena yang memang telah melekat kepada sebagian masyarakat kita? Atau, apakah fenomena ini justru hanya sekadar fenomena musiman (hanya terjadi saat perayaan hari raya agama saja)? Perlu diulas lebih dalam lagi - apakah ini malah dapat dicurigai mengarah pada pembentukan masyarakat yang lebih materialistis/hedonist seperti yang umum terjadi di negara-negara maju?

Wednesday, August 3, 2011

Politik Preemptifisasi Pemilu Australia

Mengherankan tetapi tidak mengejutkan.Ungkapan ini segera terbersit di benak penulis ketika membaca pengumuman Komisi Pemilihan Australia yang memastikan terpilihnya kembali John Howard sebagai Perdana Menteri Australia untuk keempat kalinya, minggu 10 Oktober.Mengherankan karena ‘pelajaran Irak’, yaitu kontroversi tentang keikutsertaan Australia dalam tentara koalisi pimpinan Amerika Serikat yang melakukan invasi ke Irak tahun 2003 yang lalu, ternyata tidak mampu ‘menghentikan’ peluang Howard terpilih kembali. Di tengah optimisme yang meninggi dari pesaing keras John Howard dari Partai Buruh yang beroposisi, Mark Latham plus rasa ketidakpuasan umum terhadap kebijakan luar negeri Howard dalam masalah Irak yang dianggap terlalu agresif dan pro Amerika Serikat, fakta pemilu menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen warga Australia justru berketetapan hati mendudukkan kembali John Howard sebagai penguasa. Tidak mengejutkan karena dalam beberapa jejak pendapat pra pemilihan Howard dilaporkan hampir selalu unggul dari Latham.

Analis dan komentator hubungan internasional sudah banyak mengulas tentang kebijakan sekuriti dan luar negeri John Howard – idem ditto ulasan tentang kebijakan sekuriti sekondannya dari Amerika Serikat, George Bush dan Tony Blair dari Inggris. Namun pada umumnya – untuk tidak mengatakan seluruhnya- analisis tersebut selalu berangkat (point of departure) dari ’pengkotakkan tradisional’ dua aliran utama dalam kajian hubungan internasional yaitu paradigma realis dan pluralis/internasionalis. Yang pertama menekankan nilai penting power (kekuatan) sebagai faktor penentu dalam politik internasional sementara yang disebut terakhir lebih menekankan kerja sama internasional untuk memecahkan konflik-konflik internasional. Sementara pendekatan lain, normatif, seolah dianggap tidak signifikan (non-existant) untuk dijadikan sebagai pisau analisis dalam memahami konflik internasional. Tulisan ini menawarkan analisis ringkas (berupa antitesis) dari sudut pandang paradigma normatif, yaitu dengan mengajukan moral reasoning (penilaian moral) terhadap kebijakan sekuriti preemptif seperti yang diadopsi oleh Presiden Amerika Serikat Goerge W. Bush yang mendapat dukungan kuat dari mitranya Tony Blair dan John Howard.

Problem Konseptual
Bagaimana sebuah pemerintahan merumuskan kebijakan luar negerinya sangat tergantung pada bagaimana para pejabat tingginya mempersepsi dunia, dan cara mereka memahami berbagai kekuatan yang dapat memengaruhi kebijakan keamanan dan pencapaian tujuan nasionalnya (Christian Reus-Smit, Lost at Sea: Australia in Turbulence of World Politics, ANU Working Paper 2002/4). Pemahaman ini sebagian dibentuk oleh berbagai perubahan ‘dunia nyata’ seperti adanya perubahan dalam keseimbangan persepsi tentang kekuatan regional atau global . Namun, faktor-faktor ini selalu disaring melalui lensa ideologis, dengan filter berbagai asumsi mengenai bagaimana politik global berlangsung dan tentang hal-hal apa saja yang membentuk suatu perkembangan atau proses penting dan sebaliknya. Bagi Pemerintahan John Howard, menurut Reus-Smit, lensa-lensa tersebut berwujud ganda (bifocal) karena merupakan kombinasi dari konsepsi tradisional keseimbangan kekuatan (balance of power) yang berakar kuat dalam ranah kesadaran kebijakan luar negeri liberal-konservatif digabung dengan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi terhadap kekuatan progresif globalisasi ekonomi liberal. Sebuah pencitraan ‘kuno’ tentang hubungan internasional yang bertumpu pada negara (state-centric) dalam konteks ini kemudian tumpang- tindih dengan konsep yang jauh lebih canggih yaitu pasar bebas (borderless markets), tangan tak terlihat kapitalisme global (hidden hand of global capitalism) dan konsepsi tentang pertumbuhan ekonomi untuk semua (economic growth of all).

Cara Howard merumuskan kebijakan luar negerinya, terutama dalam kampanye pemilunya beberapa waktu yang lalu, yang dipenuhi dengan retorika politik yang agresif dan dikesankan beberapa pihak sebagai ‘politik menakuti-nakuti’ warga Australia, sangat pas dengan mitra satu ideologinya di Amerika Serikat, George W. Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. George W. Bush Jr, dengan doktrin sekuritinya yang kontroversial, preemptive use of force atau lebih dikenal dengan Bush Doctrine, mempostulasikan bahwa untuk menghadapi situasi dunia kontemporer dengan Amerika Serikat sebagai satu-satunya kekuatan hegemonik terkuat di dunia pada satu sisi dan adanya potensi perang asimetri (perang tidak seimbang) yang dilancarkan oleh teroris global seperti jejaring Al Qaedah di sisi yang lainnya, satu-satunya cara yang dianggap paling efektif untuk konteks ini adalah dengan mengadopsi strategi keamanan nasional preemptif, atau yang secara sederhana dipahami sebagai ‘serang dulu, urusan lain belakangan’. Kasus Irak tahun 2003 menjadi contoh yang ilustratif dari doktrin ini.

Terlepas dari berbagai pro-kontra yang melingkupinya, Bush Doctrine – yang dijadikan model perumusan kebijakan strategi militer John Howard dan Tony Blair dengan Aliansi Melawan Terorisme Globalnya, ada 4 cacat konseptual yang bersifat melekat. Pertama, adanya miskonsepsi rogue states. Konsep rogue states atau negara-negara yang ‘bandel’ menurut ‘lensa’ Pemerintahan Bush Jr, sukar diterima secara moral karena bersifat selektif dan inkonsisten dalam penerapannya. Galeri rogue states versi Amerika Serikat yaitu Irak, Korea Utara dan Iran dianggap cacat secara konsepsional karena tidak didasarkan pada karakteristik domestik masing-masing negara tetapi lebih karena subjektifitas (selera) Amerika Serikat dan oleh karena itu politisasi terma ini dianggap bangkrut sebagai sebuah kategori analisis. Kedua, perang preventif berbaju preemptif ala Invasi Irak 2003, hampir selalu merupakan sebuah pilihan yang buruk baik secara strategis maupun secara moral. Serangan Preemptif hanya diperbolehkan dalam kondisi yang sangat kritikal lengkap dengan berbagai syarat yang bersifat membatasi cakupan dan intensitas serangan dan secara tegas harus dibedakan dengan preventive war seperti kasus Invasi AS ke Irak. Klaim sebagai serangan preemptif karena sebagai wujud self-defense adalah cacat secara konseptual karena justru yang dilakukan AS sebenarnya adalah tipe serangan preventif dan ini illegal dalam hukum internasional terlebih dalam terma moral. Alasannya sederhana: tuduhan pembenar serangan bahwa Irak dapat menghadirkan ancaman terhadap AS dan sekutunya terbukti tidak benar. Evidensi gagal dan oleh karena itu, prima facie, klaim justifikasi serangan gugur dengan sendirinya. Ketiga, Terkait dengan poin kedua di atas, karena proses evidensi (pembuktian tuduhan) AS terhadap kepemilikan senjata pemusnah massal Irak gagal, maka konsekuensi logisnya klaim pembenar (justifikasi) invasi AS ke Irak dengan sendirinya tidak sah, baik secara legal maupun moral. Serangan militer AS ke Irak bukan atas dasar upaya bela-diri (self-defense) tapi tak lebih sekedar agresi militer illegal dan amoral. Terakhir, klaim ancaman segera (imminent threats) yang secara logis sangat terkait dengan klaim self-defense juga gugur dengan sendirinya. Irak tidak terbukti memiliki dan mengembangkan senjata pemusnah massal dan oleh karena itu tidak logis jika dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara sekutu AS terlebih lagi terhadap AS sendiri.

Penutup
Dari paparan di atas, agaknya jelas bahwa terma teknis militer preemptif telah mengalami politisasi yang intens dalam politik global dewasa ini. Ini terutama sangat ilustratif dalam kasus Invasi koalisi terbatas pimpinan AS ke Irak tahun 2003 yang lalu. Fenomena ini, yang dikritisi secara global pra dan pasca Invasi tersebut, ternyata tidak/kurang ‘bergema’ di Australia, terutama dalam konteks pemilihan kembali Perdana Menteri John Howard. Sebagai ‘Deputy-Chief’ AS di kawasan Asia-Pasifik, ternyata warga Australia lebih mempercayai Howard dengan retorika kampanyenya yang penuh dengan politisasi preemptif tinimbang politisi moderat Mark Latham yang mengusung tema kampanye dan agenda kebijakan luar negeri yang lebih ‘lunak’ dan pro-Asia. Di tengah politisasi preemptif, Quo Vadis Australia?

Wednesday, April 27, 2011

Polisi, Manajemen Media dan Budaya Pesohor

Mengejutkan sekaligus menghibur. Mungkin dua kata ini bisa merangkum reaksi beragam kalangan audiens media massa kita belakangan ini terkait fenomena Tari Chaiyya Chaiyya –nya anggota Brimob Polda Gorontalo, Briptu Norman Camaru. Dikatakan mengejutkan dan pada saat yang sama juga menghibur karena persepsi kalangan masyarakat umumnya memandang polisi - terlebih anggota Brimob yang merupakan ‘pasukan perang’ Polri- sebagai individu yang ‘seram’, dan “menakutkan” dan sekian banyak stigma negatif lainnya. Namun, hebatnya, cukup hanya dengan sebuah klip video yang di-upload ke situs video online Youtube, jutaan masyarakat Indonesia seketika melihat sosok polisi sebagai person yang sangat ‘sipil’, jauh dari kesan militeristik karena amat kocak dan sangat menghibur. Tak ada bedanya dengan masyarakat kebanyakan. Kesan polisi yang angker, seram, menakutkan dan militeristik yang selama ini kuat mengakar dalam benak masyarakat kita (terutama dalam era ORBA) , dengan sangat cepat lenyap tak berbekas. Ingat, sekali lagi, cukup hanya dengan meng-upload satu video kocak sang anggota Brimob dengan durasi kurang dari 10 menit .Secepat kilat Sang Briptu nan lucu ini menjelma menjadi selebritis Indonesia. Selebiriti kocak dengan pakaian dinas “pasukan perang” Polisi?
Ya dan itu luar biasa.
Lalu, bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena ini?

MANAJEMEN MEDIA
Komunikasi melalui media massa menawarkan banyak keuntungan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Di luar fakta bahwa peliputan berita dinikmati oleh jutaan audiens setiap harinya, pesan-pesan yang ditampilkan dalam media juga dapat memperoleh kredibilitas dan pengaruh karena adanya independensi yang dipersepsikan dari media terkait. Bersikap proaktif dalam kaitan hubungannya dengan pihak media menjadi suatu keharusan bagi politisi/pemerintah agar dapat “membantu” jurnalis dalam proses pembuatan berita. Terkecuali jika pihak pemerintah dapat menyediakan copy (materi untuk diberitakan) bagi jurnalis, maka wartawan akan mencarinya sendiri ke mana saja sampai mereka mendapatkannya. Sifat dasar dari copy yang dapat ditawarkan kepada para jurnalis harus sesuai dengan cara-cara atau format media moderen bekerja yaitu wajib dibuat seringkas mungkin, sederhana, konsisten dan di atas semuanya, visual (Rosenbaum 1997:85).
Relasi antara politisi dan media massa, lebih khususnya lagi antara pemerintah dan media massa, pada hakikatnya melibatkan pertarungan antara sekumpulan kepentingan yang berbeda. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mencari dan menyajikan fakta-fakta sementara itu pada sisi yang lain politisi/pemerintah memiliki semacam keharusan untuk memastikan bahwa sebuah berita selayaknya menggambarkan ‘pesan’ yang ia ingin sampaikan (Sommerville 2004). Tidak ada yang baru dalam hal ini - pemerintah / politisi yang ingin mengontrol representasi /pemberitaan media. Isu ini sudah ramai diperbincangkan banyak kalangan sejak awal perkembangan political public relations di awal abad ke-20 (Pearson 1992; McNair 1994; L “Etang 1999).
Terkait dengan intensi untuk mengontrol media, McNair (1994, 1998) dan Franklin (1994) menyebutkan terdapat dua strategi kunci yang biasa dipergunakan pemerintah/politisi untuk mengontrol peemberitaan media tentang mereka serta pemberitaan mengenai berbagai kebijakan mereka, yaitu soundbite dan pseudo-events.

Soundbites dan Pseudo-events
“Mesin berita”, khususnya berita televisi, memberikan banyak waktu tayangnya dengan fokus pada isu-isu politik. Jurnalis, dalam konteks ini, seperti banyak orang dari profesi yang menuntut kerja dengan tenggat yang ketat, mengalami kesulitan memnuhi tenggat dalam tugas mereka. Untuk menyebut satu contoh kasus dalam konteks relasi media dan pemerintah, Cockerell et al.(1984:11) menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan Parlemen Inggris, sangat sedikit jurnalis yang memiliki insentif untuk bisa menggali lebih dalam ke jantung kekuasaan politik, yang mereka bisa lakukan hanya mencapai permukaan kekuasaan parlmemen saja. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban’ para jurnalis siaran untuk dapat mendapatkan rincian-rincian kunci atau pokok-pokok penting dari setiap peristiwa atau perdebatan politik yang ada. Jika pun tugas jurnalis tersebut dapat dibuat lebih mudah, jika pidato dan debat politik di parlemen mengandung frasa-frasa yang mudah diingat (soundbites) yang dapat meringkas poin-point terpenting, maka akan ada kesempatan bagus bahwa bagian-bagian pidato politik ini dapat diseleksi dan kemudian disiarkan dalam paket berita singkat di media siar.
McNair (1994) menyatakan bahwa terdapat banyak pidato politik yang sangat bertendensi dipenuhi dengan banyak soundbite, terjadi dalam konteks yang dikenal dengan istilah ‘pseudo-event. Pseudo-events didefinisikan sebagai :
...” A pseudo-event is an event or activity that exists for the sole purpose of the media publicity and serves little to no other function in real life. Without the media, nothing meaningful actually occurs at the event, so pseudo-events are considered “real” only after they are viewed through news, advertisement, television or other types of media” (wikipedia). Intinya, sebuah pseudo-event bisa dikatakan “nyata” hanya setelah dilihat melalui berita, iklan, televisi atau jenis media lainya.

Dalam konteks Indonesia, kedua teknik tersebut banyak dipergunakan dalam pemberitaan televisi, utamanya dalam konteks berita politik dan sorotan kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan publik. Contoh penggunaan soundbite adalah dalam pemberitaan televisi kita tentang fenomena “kutu loncat” anggota DPR RI dari partai politik A yang berpindah ke partai politik B, karena alasan tertentu. Televisi, mengingat keterbatasan durasi tayangannya, hanya menampilakan kutipan-kutipan singkat dari para narasumbernya. Visual, sembagai unsur terpenting berita televisi, idealnya sedapat mungkin diseleksi sedramatis mungkin (meski dalam banyak kasus terjadi banyak pengulangan gambar dan gambar yang tidak relevan dengan topik beritanya). Contoh lainnya, ini yang masih juga menjadi perhatian publik kita, adalah fenomena selebritis instan Norman Camaru seperti yang disinggung di atas. Pemberitaan televisi bahkan dalam peliputan mengenai Camaru sudah mulai keluar dari pakem standarnya yang harus ringkas, sederhana, konsisten dan visual seperti yang disebutkan oleh Rosenbaum di atas. Televisi lebih jauh lagi bahkan telah melakukan media exposure secara berlebihan baik dari sisi durasi maupun frekwensi tayangan tentang Chaiyya-chaiyya sang Briptu Camaru. Istilah televisinya, peliputannya sudah di “roll” saja. Artinya, semuanya di’shoot’ dan kemudian ditayangkan persis apa adanya, seluruhnya, tanpa melihat bagian mana yang perlu diseleksi menjadi ringkas ke dalam format soundbite berupa frasa-frasa dan visual terpenting dari sang anggota Brimob tersebut. Media televisi kita tampak sekali telah kehilangan pertimbang profesional serta naluri jurnalistiknya dalam konteks pembuatan soundbite ini. Terjemahaan dari fenomena populer ini adalah: pihak televisi menganggap fenomena Norman Camaru sebagai peristiwa yang luar biasa berharga secara ekomoni sehingga layak mendapat porsi peliputan yang hampir tidak terbatas. Bisa disebutkan seluruh stasiun televisi baik lokal maupun nasional berlomba-lomba menayangkan peliputan tentang Norman Camaru, hampir sepanjang waktu siaran, baik dalam program berita maupun progam non berita, non-stop selama lebih dari seminggu terakhir ini.
BUDAYA PESOHOR
Budaya pesohor (celebrity culture), menurut Caravelli (2008), dapat dianggap sebagai bidang media modern yang paling cepat berkembang dewasa ini. Pekerjaan para entertainer pada industri film, televisi, musik dan fashion lengkap dengan gosip seputar kehidupan pribadi mereka dengan mudah dapat dilihat dalam beragam media seperti majalah, koran, televisi dan internet. Para pemain utama dalam budaya pesohor ini dikenal di seluruh dunia dewasa ini. Contohnya, sangat sedikit orang Amerika yang tidak pernah mendengar nama pesohor seperti Angelina Jolie dan Brad Pitt atau pasangan selebriti Inggris David Beckham dan Victoria Beckham. Atau dalam konteks Indonesia terkini, tidak banyak yang tidak kenal siapa Briptu Norman Camaru. Kemampuan budaya pesohor dalam melintas-batas negara dan budaya sebagaimana outlet medianya, telah menjadikannya sebagai sebuah isu penting dalam kajian komunikasi.
Analisis tentang budaya pesohor ini mulai dikenal pada era 1940-an, dengan pionir karya conten analysis biografi majalah yang dilakukan oleh Lowenthal (1944). Karya pionir ini telah mengubah sebuah fokus dari ‘idols of production”, dalam hal ini adalah para politisi dan pengusaha, menjadi “idols of consumption” yaitu para entertainer (Caravelli:2008). Masih menurut Caravelli, meskipun ‘idols of consumption’ ini masih merupakan pusat budaya pesohor saat ini, namun para peneliti komunikasi telah memperluas kajian mereka dengantujuan mengeksplorasi tipe dan tujuan pesohor, media pesohor dan relasi audiens dengan budaya pesohor. Bagian ini tentu tak akan cukup didiskusikan di sini karena membutuhkan ruang yang lebih panjang.
Budaya Pesohor: Alternatif Strategi PR
Polisi kita bagai ketiban ‘durian runtuh” dengan adanya fenomena Chaiya-chaiya ala Norman Camaru. Masyarakat seolah tersihir dengan tingkah-pola sang jejaka kocak ini. Masyarakat kita “lupa” bahwa Norman adalah anggota pasukan elit yang berkemampuan tempur dari Polri. Anggota polisi yang sebenarnya sangat terbiasa dan terampil dengan manajemen kekerasan, yang tentu saja sangat jauh dari kesan ‘lucu” dan “ramah” seperti yang ia tampilkan di banyak layar televisi kita belakangan ini. Momentum ini, kesempatan untuk memperbaiki citra polisi di kalangan masyarakat kita, dengan sangat cepat direspons para petinggi Polri. Norman Camaru diarak ke Jakarta, shooting beragam acara di banyak stasiun televisi, lengkap dengan “kawalan” sang atasan, kepala Brimob Gorontalo. Fenomena ini segera memunculkan persepsi anomali, yaitu pemandangan yang sangat tidak biasa: “idol of production” dan “idol of consumption’ menyatu dalam satu orang, yaitu Norman Camaru. Politisi/pegawai pemerintah (dalam konteks Norman sebagai anggota Polri yang merupakan bagian dari aparatur negara) sekaligus entertainer. Benar-benar sebuah anomali atau keadaan abnormal dari sudut pandang teori Budaya Pesohor dalam kajian komunikasi.
Pertanyaannya adalah, apakah momentum ini bisa dijadikan sebagai sebuah strategi PR yang berkelanjutan? Ini merupakan pekerjaan rumah para petinggi Polri, khususnya di bagian yang mengurusi masalah pencitraan organisasi Polri secara keseluruhan (Humas). Akan merupakan sebuah kerja raksasa bagi Humas Polri untuk membuat Public Relations Officer seperti Norman Camaru. Polri perlu menciptakan Norman-Norman yang lain, yang berkelanjutan, agar citra Polri yang belakangan ini mendapat “cobaan’ yang bertubi-tubi dapat dipulihan dan dikembalikan ke sifat asalnya sebagai pengayom masyarakat kita dalam konteks melindungi dan melayani masyarakat. Jangan sampai statemen pakar politik dari Universitas Paramadina, Anies Baswedan (polling republika.co.id, “Kinerja Polisi Tak Memuaskan”, Republika, Selasa, 26 April 2011, halaman 4) bahwa satu kali aparat keamanan (polisi dan intelejen) gagal dalam mengantisipasi aksi teror, 100 kali keberhasilan mereka akan bernilai gagal di mata masyarakat, terjadi. Dengan mengembangkan manajemen media dan memanfaatkan strategi kehumasan alternatif seperti budaya pesohor, Polri pasti dan harus mampu membalikkan anggapan di atas menjadi, 1 kali kegagalan Polri dalam antisipasi aksi teror (dan semua tindakan melawan hukum lainnya) dapat dan harus bisa ditutupi dengan 100 kisah sukses kerja Polri. Itu baru bisa dikatakan adil dan proporsional. Semoga.

*Mantan Jurnalis Televisi, saat ini bekerja sebagai Staf Pengajar Tetap Fakultas Komunikasi President University
Jababeka Education Park, Jl. Ki Hajar Dewantara, Kota Jababeka, Bekasi 17750 Telp: 021-8910 976 dan HP: 0815- 637 395 12
Artikel dimuat dalam Majalah Bulanan Polisi Metropolitan Jakarta Raya JDS (Jaya Dharma Sevaka) edisi 49, April 2011