Popular Posts

Wednesday, August 31, 2011

Lebaran idul fitri di Indonesia: budaya materialistis?

Lebaran : segala sesuatu yang baru. baju baru. sepatu baru. rumah dicat baru. Perabotan rumah disulap serba baru. baju koko baru. baju muslimah baru. Semua harus baru. Meski untuk mendapatkannya segala daya upaya dan cara diperbolehkan. Bukan main! Ini omelan seorang teman kecil saya di Bogor. Ia, seorang yang tidak terlalu religius namun berasal dari keluarga yang santun dan taat dalam nilai-nilai Islam. Meski telah sering berkeliling dunia sebagai cabin crew perusahaan kapal pesiar mewah berbasis di Tampa, Florida, Amerika Serikat, cara pandangnya masih terasa kental dengan semangat "orang tradisional".Cara berpakain yang khas anak muda (meski sebenarnya ia sudah tidak terlalu muda lagi kok )yang cenderung ke-barat-baratan, plus dilengkapi dengan gaya bicara yang US-minded, rupanya tidak lantas otomatis menjadikan sobat saya ini kehilangan daya kritisnya melihat fenomena di kampungnya yang ia lihat sangat berbeda dengan saat ia (dan saya!) kecil dahulu, ya sekitar awal tahun 1980-an. Setiap pulang dari berlayar, ia selalu mengeluh betapa orang-orang kampungnya sudah tidak "asli". Sudah terbaratkan. Tidak saja dalam berpakaian dan cara bergaul (seperti dirinya, tentu saja!) tapi parahnya sudah tercuci-otak dengan cara pikir orang-orang Barat sana. Secara sinis ia menyebut orang-orang kampungnya sebagai " fisik kampung tapi budaya (baca: lifestyle) bule".

Saya dapat memahami cara pandang teman saya tersebut. Secara spesifik saya bisa melihat fenomena "fisik kampung tapi budaya bule" itu dalam bulan ramadhan dan hari raya idul fitri tahun ini, di kampung teman saya ini terutama. Tidak sedikt warga yang merentang dari usia muda sekali sampai orang tua, larut dalam cara-cara yang sangat berlawanan dengan semangat dan jiwa puasa ramadhan itu sendiri yang menekankan pada upaya maksimal untuk menahan diri dari segala macam upaya pemenuhan kebutuhan materi yang berlebihan. Untuk menyebut contoh yang sangat gampang dilihat sehari-hari sepanjang ramadhan adalah betapa budaya konsumtif sangat menggila di kalangan masyarakat. Pasar-pasar, baik yang tradisional maupun "modern" selalu luber dengan pengunjung. Nyaris tiada hari tanpa lalu lintas lumpuh karena kemacetan mengerikan di sepanjang jalur puncak. Ya, benar. Karena pasar-pasar demikian penuhnya, menggantikan masjid dan madrasah/pengajian yang seharusnya menjadi pusat keramaian di saat bulan suci Ramadhan. Ironis sekali. Pasar dan Mal telah merampas "makhota" masjid-masjid dan pusat-pusat kegiatan ibadah, justru di kala bulan ibadah ini, bulan Ramadhan!

Tak heran, teman saya,-mengingat profesinya sebagai pengelana global- yang sebenarnya "telah ter-bule" kan tersebut, namun sangat miris melihat perubahan tradisi yang sangat esktrim tersebut. Dia serta merta menyalahkan media massa sebagai penyebab segala "kerusakan akhlaq" yang telah mengubah wajah masyarakat kampungnya, yang awalnya sangat religius, saat ini telah berubah menjadi amat hedonistis. Penyembah materi namun berkedok agama. Sebuah ungkapan emosionil yang mungkin berlebihan. Namun mari kita lihat sisi baik dari ungkapan murka sang teman saya itu. saya sependapat bahwa fenomena yang dia sebut itu benar memang ada, terjadi dan bahkan telah menjelma menjadi sub-budaya sebagian umat muslim di sini, suka tidak suka fakta tersebut adalah merupakan sebuah fakta keras (hard-evidence), meski tidak se-esktrim seperti sumpah-serapah sobat saya itu. MAsalahnya adalah kemudian, apakah fenomena ini secara sosiologis merupakan fenomena yang memang telah melekat kepada sebagian masyarakat kita? Atau, apakah fenomena ini justru hanya sekadar fenomena musiman (hanya terjadi saat perayaan hari raya agama saja)? Perlu diulas lebih dalam lagi - apakah ini malah dapat dicurigai mengarah pada pembentukan masyarakat yang lebih materialistis/hedonist seperti yang umum terjadi di negara-negara maju?

2 comments:

  1. Ulasan yg bagus mengenai Ramadan dan Lebaran...
    meskipun singkat namun ckp mewakili apa yg belum sempat saya tulis di blog (pribadi).
    Tambahan:
    sy sendiri terheran-heran melihat foto2 dimana org berbuka puasa dan dikelililingi makanan2 mewah ala2 bule dimejanya,kemudian dipampangkan utk org dapat ikut menyaksikan!
    Sy rasa sang objek tersebut tau apa makna dari bulan spesial ini.Well,anyway,HAM mmg masih berlaku di negara kita,namun hendaknya dapat juga di sandingkan dengan rasa toleransi dan 'tau sikon'agar suasana bisa lebih selaras (saya rasa).

    http://blushonme.blogspot.com/2011/08/retrospektif-dangkal.html

    ReplyDelete