Popular Posts

Wednesday, April 27, 2011

Polisi, Manajemen Media dan Budaya Pesohor

Mengejutkan sekaligus menghibur. Mungkin dua kata ini bisa merangkum reaksi beragam kalangan audiens media massa kita belakangan ini terkait fenomena Tari Chaiyya Chaiyya –nya anggota Brimob Polda Gorontalo, Briptu Norman Camaru. Dikatakan mengejutkan dan pada saat yang sama juga menghibur karena persepsi kalangan masyarakat umumnya memandang polisi - terlebih anggota Brimob yang merupakan ‘pasukan perang’ Polri- sebagai individu yang ‘seram’, dan “menakutkan” dan sekian banyak stigma negatif lainnya. Namun, hebatnya, cukup hanya dengan sebuah klip video yang di-upload ke situs video online Youtube, jutaan masyarakat Indonesia seketika melihat sosok polisi sebagai person yang sangat ‘sipil’, jauh dari kesan militeristik karena amat kocak dan sangat menghibur. Tak ada bedanya dengan masyarakat kebanyakan. Kesan polisi yang angker, seram, menakutkan dan militeristik yang selama ini kuat mengakar dalam benak masyarakat kita (terutama dalam era ORBA) , dengan sangat cepat lenyap tak berbekas. Ingat, sekali lagi, cukup hanya dengan meng-upload satu video kocak sang anggota Brimob dengan durasi kurang dari 10 menit .Secepat kilat Sang Briptu nan lucu ini menjelma menjadi selebritis Indonesia. Selebiriti kocak dengan pakaian dinas “pasukan perang” Polisi?
Ya dan itu luar biasa.
Lalu, bagaimana kita bisa menjelaskan fenomena ini?

MANAJEMEN MEDIA
Komunikasi melalui media massa menawarkan banyak keuntungan bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Di luar fakta bahwa peliputan berita dinikmati oleh jutaan audiens setiap harinya, pesan-pesan yang ditampilkan dalam media juga dapat memperoleh kredibilitas dan pengaruh karena adanya independensi yang dipersepsikan dari media terkait. Bersikap proaktif dalam kaitan hubungannya dengan pihak media menjadi suatu keharusan bagi politisi/pemerintah agar dapat “membantu” jurnalis dalam proses pembuatan berita. Terkecuali jika pihak pemerintah dapat menyediakan copy (materi untuk diberitakan) bagi jurnalis, maka wartawan akan mencarinya sendiri ke mana saja sampai mereka mendapatkannya. Sifat dasar dari copy yang dapat ditawarkan kepada para jurnalis harus sesuai dengan cara-cara atau format media moderen bekerja yaitu wajib dibuat seringkas mungkin, sederhana, konsisten dan di atas semuanya, visual (Rosenbaum 1997:85).
Relasi antara politisi dan media massa, lebih khususnya lagi antara pemerintah dan media massa, pada hakikatnya melibatkan pertarungan antara sekumpulan kepentingan yang berbeda. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mencari dan menyajikan fakta-fakta sementara itu pada sisi yang lain politisi/pemerintah memiliki semacam keharusan untuk memastikan bahwa sebuah berita selayaknya menggambarkan ‘pesan’ yang ia ingin sampaikan (Sommerville 2004). Tidak ada yang baru dalam hal ini - pemerintah / politisi yang ingin mengontrol representasi /pemberitaan media. Isu ini sudah ramai diperbincangkan banyak kalangan sejak awal perkembangan political public relations di awal abad ke-20 (Pearson 1992; McNair 1994; L “Etang 1999).
Terkait dengan intensi untuk mengontrol media, McNair (1994, 1998) dan Franklin (1994) menyebutkan terdapat dua strategi kunci yang biasa dipergunakan pemerintah/politisi untuk mengontrol peemberitaan media tentang mereka serta pemberitaan mengenai berbagai kebijakan mereka, yaitu soundbite dan pseudo-events.

Soundbites dan Pseudo-events
“Mesin berita”, khususnya berita televisi, memberikan banyak waktu tayangnya dengan fokus pada isu-isu politik. Jurnalis, dalam konteks ini, seperti banyak orang dari profesi yang menuntut kerja dengan tenggat yang ketat, mengalami kesulitan memnuhi tenggat dalam tugas mereka. Untuk menyebut satu contoh kasus dalam konteks relasi media dan pemerintah, Cockerell et al.(1984:11) menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan Parlemen Inggris, sangat sedikit jurnalis yang memiliki insentif untuk bisa menggali lebih dalam ke jantung kekuasaan politik, yang mereka bisa lakukan hanya mencapai permukaan kekuasaan parlmemen saja. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban’ para jurnalis siaran untuk dapat mendapatkan rincian-rincian kunci atau pokok-pokok penting dari setiap peristiwa atau perdebatan politik yang ada. Jika pun tugas jurnalis tersebut dapat dibuat lebih mudah, jika pidato dan debat politik di parlemen mengandung frasa-frasa yang mudah diingat (soundbites) yang dapat meringkas poin-point terpenting, maka akan ada kesempatan bagus bahwa bagian-bagian pidato politik ini dapat diseleksi dan kemudian disiarkan dalam paket berita singkat di media siar.
McNair (1994) menyatakan bahwa terdapat banyak pidato politik yang sangat bertendensi dipenuhi dengan banyak soundbite, terjadi dalam konteks yang dikenal dengan istilah ‘pseudo-event. Pseudo-events didefinisikan sebagai :
...” A pseudo-event is an event or activity that exists for the sole purpose of the media publicity and serves little to no other function in real life. Without the media, nothing meaningful actually occurs at the event, so pseudo-events are considered “real” only after they are viewed through news, advertisement, television or other types of media” (wikipedia). Intinya, sebuah pseudo-event bisa dikatakan “nyata” hanya setelah dilihat melalui berita, iklan, televisi atau jenis media lainya.

Dalam konteks Indonesia, kedua teknik tersebut banyak dipergunakan dalam pemberitaan televisi, utamanya dalam konteks berita politik dan sorotan kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan publik. Contoh penggunaan soundbite adalah dalam pemberitaan televisi kita tentang fenomena “kutu loncat” anggota DPR RI dari partai politik A yang berpindah ke partai politik B, karena alasan tertentu. Televisi, mengingat keterbatasan durasi tayangannya, hanya menampilakan kutipan-kutipan singkat dari para narasumbernya. Visual, sembagai unsur terpenting berita televisi, idealnya sedapat mungkin diseleksi sedramatis mungkin (meski dalam banyak kasus terjadi banyak pengulangan gambar dan gambar yang tidak relevan dengan topik beritanya). Contoh lainnya, ini yang masih juga menjadi perhatian publik kita, adalah fenomena selebritis instan Norman Camaru seperti yang disinggung di atas. Pemberitaan televisi bahkan dalam peliputan mengenai Camaru sudah mulai keluar dari pakem standarnya yang harus ringkas, sederhana, konsisten dan visual seperti yang disebutkan oleh Rosenbaum di atas. Televisi lebih jauh lagi bahkan telah melakukan media exposure secara berlebihan baik dari sisi durasi maupun frekwensi tayangan tentang Chaiyya-chaiyya sang Briptu Camaru. Istilah televisinya, peliputannya sudah di “roll” saja. Artinya, semuanya di’shoot’ dan kemudian ditayangkan persis apa adanya, seluruhnya, tanpa melihat bagian mana yang perlu diseleksi menjadi ringkas ke dalam format soundbite berupa frasa-frasa dan visual terpenting dari sang anggota Brimob tersebut. Media televisi kita tampak sekali telah kehilangan pertimbang profesional serta naluri jurnalistiknya dalam konteks pembuatan soundbite ini. Terjemahaan dari fenomena populer ini adalah: pihak televisi menganggap fenomena Norman Camaru sebagai peristiwa yang luar biasa berharga secara ekomoni sehingga layak mendapat porsi peliputan yang hampir tidak terbatas. Bisa disebutkan seluruh stasiun televisi baik lokal maupun nasional berlomba-lomba menayangkan peliputan tentang Norman Camaru, hampir sepanjang waktu siaran, baik dalam program berita maupun progam non berita, non-stop selama lebih dari seminggu terakhir ini.
BUDAYA PESOHOR
Budaya pesohor (celebrity culture), menurut Caravelli (2008), dapat dianggap sebagai bidang media modern yang paling cepat berkembang dewasa ini. Pekerjaan para entertainer pada industri film, televisi, musik dan fashion lengkap dengan gosip seputar kehidupan pribadi mereka dengan mudah dapat dilihat dalam beragam media seperti majalah, koran, televisi dan internet. Para pemain utama dalam budaya pesohor ini dikenal di seluruh dunia dewasa ini. Contohnya, sangat sedikit orang Amerika yang tidak pernah mendengar nama pesohor seperti Angelina Jolie dan Brad Pitt atau pasangan selebriti Inggris David Beckham dan Victoria Beckham. Atau dalam konteks Indonesia terkini, tidak banyak yang tidak kenal siapa Briptu Norman Camaru. Kemampuan budaya pesohor dalam melintas-batas negara dan budaya sebagaimana outlet medianya, telah menjadikannya sebagai sebuah isu penting dalam kajian komunikasi.
Analisis tentang budaya pesohor ini mulai dikenal pada era 1940-an, dengan pionir karya conten analysis biografi majalah yang dilakukan oleh Lowenthal (1944). Karya pionir ini telah mengubah sebuah fokus dari ‘idols of production”, dalam hal ini adalah para politisi dan pengusaha, menjadi “idols of consumption” yaitu para entertainer (Caravelli:2008). Masih menurut Caravelli, meskipun ‘idols of consumption’ ini masih merupakan pusat budaya pesohor saat ini, namun para peneliti komunikasi telah memperluas kajian mereka dengantujuan mengeksplorasi tipe dan tujuan pesohor, media pesohor dan relasi audiens dengan budaya pesohor. Bagian ini tentu tak akan cukup didiskusikan di sini karena membutuhkan ruang yang lebih panjang.
Budaya Pesohor: Alternatif Strategi PR
Polisi kita bagai ketiban ‘durian runtuh” dengan adanya fenomena Chaiya-chaiya ala Norman Camaru. Masyarakat seolah tersihir dengan tingkah-pola sang jejaka kocak ini. Masyarakat kita “lupa” bahwa Norman adalah anggota pasukan elit yang berkemampuan tempur dari Polri. Anggota polisi yang sebenarnya sangat terbiasa dan terampil dengan manajemen kekerasan, yang tentu saja sangat jauh dari kesan ‘lucu” dan “ramah” seperti yang ia tampilkan di banyak layar televisi kita belakangan ini. Momentum ini, kesempatan untuk memperbaiki citra polisi di kalangan masyarakat kita, dengan sangat cepat direspons para petinggi Polri. Norman Camaru diarak ke Jakarta, shooting beragam acara di banyak stasiun televisi, lengkap dengan “kawalan” sang atasan, kepala Brimob Gorontalo. Fenomena ini segera memunculkan persepsi anomali, yaitu pemandangan yang sangat tidak biasa: “idol of production” dan “idol of consumption’ menyatu dalam satu orang, yaitu Norman Camaru. Politisi/pegawai pemerintah (dalam konteks Norman sebagai anggota Polri yang merupakan bagian dari aparatur negara) sekaligus entertainer. Benar-benar sebuah anomali atau keadaan abnormal dari sudut pandang teori Budaya Pesohor dalam kajian komunikasi.
Pertanyaannya adalah, apakah momentum ini bisa dijadikan sebagai sebuah strategi PR yang berkelanjutan? Ini merupakan pekerjaan rumah para petinggi Polri, khususnya di bagian yang mengurusi masalah pencitraan organisasi Polri secara keseluruhan (Humas). Akan merupakan sebuah kerja raksasa bagi Humas Polri untuk membuat Public Relations Officer seperti Norman Camaru. Polri perlu menciptakan Norman-Norman yang lain, yang berkelanjutan, agar citra Polri yang belakangan ini mendapat “cobaan’ yang bertubi-tubi dapat dipulihan dan dikembalikan ke sifat asalnya sebagai pengayom masyarakat kita dalam konteks melindungi dan melayani masyarakat. Jangan sampai statemen pakar politik dari Universitas Paramadina, Anies Baswedan (polling republika.co.id, “Kinerja Polisi Tak Memuaskan”, Republika, Selasa, 26 April 2011, halaman 4) bahwa satu kali aparat keamanan (polisi dan intelejen) gagal dalam mengantisipasi aksi teror, 100 kali keberhasilan mereka akan bernilai gagal di mata masyarakat, terjadi. Dengan mengembangkan manajemen media dan memanfaatkan strategi kehumasan alternatif seperti budaya pesohor, Polri pasti dan harus mampu membalikkan anggapan di atas menjadi, 1 kali kegagalan Polri dalam antisipasi aksi teror (dan semua tindakan melawan hukum lainnya) dapat dan harus bisa ditutupi dengan 100 kisah sukses kerja Polri. Itu baru bisa dikatakan adil dan proporsional. Semoga.

*Mantan Jurnalis Televisi, saat ini bekerja sebagai Staf Pengajar Tetap Fakultas Komunikasi President University
Jababeka Education Park, Jl. Ki Hajar Dewantara, Kota Jababeka, Bekasi 17750 Telp: 021-8910 976 dan HP: 0815- 637 395 12
Artikel dimuat dalam Majalah Bulanan Polisi Metropolitan Jakarta Raya JDS (Jaya Dharma Sevaka) edisi 49, April 2011